Budidaya Udang Sitto Mulai Ditinggalkan Petani Tambak di Maros

Yuk bagikan berita ini !

Sulselmengabari, Maros – Kabupaten Maros terkenal sebagai daerah pesisir pantai dan laut yang memiliki potensi pengembangan perikanan darat dan laut yang cukup memadai.

Potensi inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagian besar masyarakat. Seperti pemberdayaan kelompok tani disetiap desa atau dusun.

Letak geografis yang dikelilingi oleh perairan air payau dengan empang-empang yang mendukung menjadikan sebagian besar masyarakat yang bermukim ditempat ini berprofesi sebagai petani tambak.

Profesi petambak ini menjadi profesi turun temurun yang digeluti sejak zaman dahulu, yang diwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya.

Meskipun tidak semua generasi-generasi muda yang mau berkecimpung dalam profesi tersebut.

Di Dusun Pappaka Kabupaten Maros sendiri, sejak dahulu para petambak telah membudidayakan udang windu yang bagi masyarakat setempat disebut “Udang Sitto”.

Udang windu dengan nama ilmiah giant tiger atau panaeus monodon ini merupakan spepies asli Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga tidak salah jika para petani tergiur untuk membudidayakannya.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu budidaya tersebut tidak berjalan mulus, dan menyebabkan banyak petambak yang memilih meninggalkan budidaya udang windu dengan berbagai usaha lebih menjanjikan.

Salah satu penyebab beralihnya para petambak tersebut karena proses perawatan yang cukup rumit dan udang windu yang rentan terkena wabah penyakit.

Bahkan sebelum mencapai waktu panen para petambak harus rela memanennya jika terkena wabah penyakit tersebut, karena udang-udang akan mati secara tiba-tiba dan itu artinya menyebabkan kerugian.

Meskipun demikian tidak membuat semangat beberapa petambak di dusun Pappaka untuk tetap memertahankan budidaya udang windu.

Sebut saja Kamaruddin (43 tahun), salah satu petambak yang sampai saat ini masih eksis membudidayakan udang windu.

Bagi sebagian orang mungkin saja budidaya udang windu dipandang sebelah mata, yang hanya mengandalkan hasil panen yang dalam setiap tiga atau empat bulan sekali dan nilai yang tidak seberapa.

Tapi berkat budidaya udang windulah Kamaruddin menghidupi istri dan ketiga anaknya. Serta menyekolahkan anaknya sampai keperguruan tinggi.

Masih di daerah yang sama, juga terdapat tempat pembibitan udang windu yang kian hari semakin langka, sangat berbeda dengan situasi 10 tahun lalu yang hampir disetiap desa memiliki tempat pembibitan.

Hal ini dikarenakan kurangnya permintaan konsumen sehingga para pengusaha pembibitan memilih pensiun dini.

Laporan: St. Hafsah
Mahasiswa FKIP Universitas Muslim Maros (UMMA)