Antisipasi Wabah Sosial Climber !

Yuk bagikan berita ini !

Sulselmengabari – Punya teman yang suka pamer di media sosial? Tidak jarang, teman Anda itu memamerkan tas barunya, mobilnya, lokasi wisata yang baru dikunjunginya, bahkan tumpukan uangnya! Bisa jadi, teman Anda itu adalah seorang social climber.

Maraknya penggunaan media sosial saat ini, semakin menyuburkan munculnya para social climber. Bahayanya, social climber ternyata bisa berefek pada kesehatan, terutama kesehatan jiwa. Social climbing adalah fenomena sosial yang mulai akrab dalam dua tahun terakhir dan istilah ini mulai muncul seiring perkembangan media sosial yang begitu masif. Social climbing diartikan sebagai upaya untuk memasuki kelas sosial yang lebih tinggi demi pengakuan status sosial. Orang yang melakukannya disebut social climber.

Si social climber akan melakukan berbagai cara demi bisa terlihat hebat di mata orang lain. Biasanya, kenyataannya tidak berbanding lurus dengan kemampuan ekonominya. Segala upaya tersebut dilakukan untuk mencari pujian atas barang-barang bermerek yang dipamerkan di media sosial.

Hal yang sama terjadi pada Lissette Calvairo, selebgram cantik asal Miami, Amerika Serikat. Wanita berusia 26 tahun ini memutuskan pindah dari Miami ke New York pada 2013 lalu untuk menjadi selebgram.

Namun sayangnya, pendapatan per bulan sebagai selebgram tidak cukup bagi Calveiro. Dia mengaku harus berhutang untuk bisa menjalani profesi itu. Dia berhutang untuk bisa membeli berbagai barang mewah dan pergi ke tempat wisata eksotis demi foto terbaik di instagram.

Dilansir Dailymail, Calveiro terjebak hutang sebesar USD10 ribu atau setara dengan Rp 142 juta. Hutang itu hasil dari kegemarannya belanja barang bermerek dan membeli barang dari desainer-desainer terkenal dengan harga fantastis.

“Aku menjalani hidup penuh kebohongan, hutangku terlampau banyak,” ujar Calveiro saat itu.

Dia pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Miami dan mencari pekerjaan tetap. Gaji yang dia terima kemudian untuk membayar hutang kartu kredit yang membengkak.

Kisah Calveiro adalah contoh dari kasus social climber yang nyata. Berhutang dan menjalani hidup penuh dengan kebohongan seperti Calveiro bisa saja memicu depresi yang berujung pada percobaan bunuh diri.

“Memang (media sosial) sangat rentan membuat depresi. Seorang selebgram bisa saja terkenal di media sosial, tapi di kehidupan sosial aslinya sebenarnya tidak terlalu terkenal. Hal tersebut bisa memengaruhi kesehatan jiwanya, karena dia hanya butuh pengakuan. Kondisi ini yang menyebabkan bisa depresi,” ujar dr. Alberta Jesslyn Gunardi, BMedSc., Hons.

Ciri-ciri social climber
Anda merasa terdorong untuk berbelanja barang-barang bermerek untuk kepentingan media sosial? Hati-hati, bisa jadi Anda tengah terjerumus menjadi social climber. Cek apakah tanda-tanda berikut ini ada dalam diri Anda:

1. Suka memamerkan barang bermerek
Demi mencapai kepuasan diri, social climber suka memamerkan barang-barang bermerek. Tak peduli harus sampai berhutang atau barang itu palsu, yang penting orang lain melihat dia memiliki barang yang tengah menjadi tren.

2. Ingin jadi terkenal atau dianggap penting di mata orang
Dalam hal ini, social climber ingin agar pendapat mereka selalu dianggap penting. Pasalnya, belum tentu di kehidupan sosial aslinya mereka menjadi orang seperti itu.

3. Ingin memiliki teman
Biasanya di kehidupan aslinya mereka tidak memiliki teman atau kesepian. Jadi, mereka coba memanfaatkan media sosial sebagai ajang mencari teman, terutama yang lebih kaya. Aktivitas pamer yang dilakukan juga untuk mencari perhatian agar ada yang mau berteman dengannya.

4. Suka memanipulasi kehidupan pribadi
Agar tetap terlihat hebat, tak jarang social climber mengubah profil dirinya di sosial media.

Merasa sedikit bangga terhadap hal yang dicapai, masih bisa dianggap waja. Tetapi jika setiap hal atau benda dipamerkan, bisa jadi

Maraknya penggunaan media sosial saat ini, turut menyuburkan fenomena social climber di tengah masyarakat. Bangga dan menunjukkan hasil dari kerja keras bisa menjadi motivasi bagi orang lain. Tetapi jika kebanggaan itu sampai berlebihan hingga menjadi rentetan kebohongan – hanya untuk dilihat orang – itu harus dihindari. Sebab, kebohongan yang berlarut-larut demi mengejar pengakuan orang lain bisa memicu depresi atau masalah kesehatan lainnya. Jadi, lebih baik hidup dengan jujur, bukan?